- Mau Cuan? Ini 15 Cara Biar Duit Datang dari HP Kamu (Gak Perlu Jadi Anak Sult*n Dulu!)
- Kenapa Gen Z Lebih Memilih Freelance daripada Kantoran?
- Bendera One Piece Berkibar di HUT RI ke-80, Simbol Pemberontakan atau Nasionalisme Gaya Baru?
- Dampak Bahaya Menonton Video Porno bagi Kesehatan Mental dan Kehidupan Sosial
- Megawati Dikukuhkan Kembali sebagai Ketua Umum PDI-P di Kongres Bali
- Bos BYD Bongkar Strategi di Balik Harga Mobil Listrik Super Murah
- Obrolan ChatGPT Kini Bisa Jadi Bukti di Pengadilan, Sam Altman Beri Peringatan Tegas
- Rekening Mati Bangkit Lagi? PPATK Longgarkan Blokir 31 Juta Akun
- Cara Mengirim Artikel, Berita, dan Tulisan ke Media Online Nasional 100% Terbit
- Timnas Indonesia U-23 Takluk dari Vietnam di Final AFF U-23 2025, Ini 5 Penyebab Kekalahannya
Apakah dia mengalami Depresi? Cek Bicaranya

Jakarta, Beberapa orang pandai menyembunyikan perasaan, dari luar tampak baik-baik saja meski hatinya menangis tercabik-cabik. Para ilmuwan baru-baru ini berhasil menentukan dengan tepat tingkat keparahan depresi berdasarkan cara berbicara.
Dalam penelitian yang diklaim sebagai yang terbesar di dunia tersebut, para ilmuwan menemukan bahwa cara berbicara susah dipalsukan ketika seseorang sedang depresi. Perubahan cara bicara itu bisa dipakai untuk mengukur tingkat keparahan depresi yang dialami.
Adam Vogel, kepala Speech Neuroscience Unit di University of Melbourne mengatakan bahwa cara berbicara adalah penanda kesehatan otak yang sangat kuat. Berbagai perubahan yang terjadi pada cara berbicara bisa menunjukkan seberapa bagus otak bekerja.
"Cara berbicara orang yang sedang depresi berubah dan dipengaruhi oleh terapi yang diberikan, menjadi lebih cepat dengan jeda yang lebih pendek," kata Vogel dalam laporannya di jurnal Biological Psychiatry seperti dikutip dari Medindia, Selasa (21/8/2012).
Dalam penelitian tersebut, Vogel melakukan pengamatan terhadap 105 pasien yang sedang menjalani terapi untuk menyembuhkan depresi. Beberapa hal yang diamati antara lain waktu, nada dan intonasi bicara yang kemudian dibandingkan dengan hasil pemeriksaan psikologis.
Para pasien diminta melakukan panggilan telepon ke sebuah mesin penjawab otomatis. Ada yang diminta berbicara apa saja, mengungkapkan perasaan dan sebagian hanya diminta untuk membaca teks supaya tidak perlu repot-reopot memikirkan mau bicara tentang apa.
"Temuan ini memungkinkan para psikolog jadi lebih fleksibel dalam memeriksa pasien dari jarak jauh, hanya dengan mendengarkan pola dan cara berbicara meski dari lokasi yang sangat jauh atau di kampung-kampung," kata James Mundt dari Centre for Psychological Consultation di Wisconsin.